Cahaya bulan di pucuk daun

Seperti malam – malam sebelumnya , malam ini aku merasa kesepian. Gundah. Sumpek. Bosan. Lagi-lagi aku bertemankan sepi. Untuk mengusir rasa sepi , akhirnya aku menuliskan cerita ini.
Sudah beberapa malam aku termenung sendirian. Aku kesal pada ayah ibuku yang selalu sibuk. Tiada hari tanpa kesibukan , begitulah gambaran tentang mereka.
Ayahku seorang pekerja kantor yang sangat sering keluar kota. Saat inipun ayahku sering keluar kota selama satu minggu. Tiada lain untuk urusan pekerjaannya. Sedangkan ibuku adalah wanita karier yang sangat supersibuk. Setiap hari, ibu baru pulang kerja setelah jam sepuluh malam. Pada saat ibuku pulang, aku sudah terlelap. Ayah ibuku hampir tak punya waktu untuk bertemu denganku. Apalagi untuk menemaniku belajar atau bermain.
Meskipun demikian, aku tetap bersyukur memiliki orang tua seperti ayah ibuku. Di kantor, mereka menduduki jabatan yang tinggi. Kata mereka, semua itu diperoleh berkat kerja keras. Dan tentunya, mereka belajar giat sewaktu bersekolah dulu. Mereka pintar dan mempunyai segudang prestasi.
Aku anak tunggal, aku tidak mempunyai adik atau kakak. Aku benar – benar kesepian. Walaupun aku di temani dengan dua orang pembantu, pak bun dan bi ijah, aku tetap saja merasa kesepian. Semua bentuk permainan elektronik pun tak mampu menghiburku.
Aku dan kedua orang tuaku tinggal di selatan kota Jakarta. Rumah ku besar dan mewah. Halaman rumah ku luas dan tampak asri. Di depan, di samping, dan di belakang rumah, terdapat banyak pepohonan. Tidak heran, pada siang hari pun udara di sekitar rumahku terasa sejuk. Karena pada waktu siang hari itulah pepohonan berfotosintesis dan melepaskan oksigen.
Ku buka jendela kamar lebar – lebar. Udara malam di luar terasa dingin menembus kulit. Tetapi tidak terasa sejuk. Pada malam hari, pepohonan di halaman melepaskan karbondioksida ke udara. Kata ayahku, tidak baik berlama-lama berdiam di bawah pohon pada malam hari, bisa membuat napas kita sesak. Tetapi aku tidak peduli
Dari balik jendela kamar aku menatap langit. Langit terlihat jernih. Di langit itu tampak sebuah benda yang sangat indah : bulan purnama! Bola batu bercahaya karena memantulkan sinar matahari itu tampak melayang di angkasa. Seperti sedang berenang di langit. Bintang – gemintang bertaburan di sekelilingnya. Berkelap kelip indah menemani sang bulan.
Tetapi sesungguhnya di bulan sangat sepi. Sesepi keadaanku malam ini. Bulan hanyalah tempat yang sunyi dan kosong. Namun bulan menjadi teman ku malam ini.Aku kagum pada keindahan bulan. Bulan bulat penuh bercahaya kuning keemasan. Walaupun cahaya itu bukan berasal dari bulan sendiri, tapi cahaya itu bisa sampai ke bumi. Cahaya bulan menyentuh pucuk-pucuk daun. Menyelusup di sela-sela dedaunan.
Aku melihat ada guratan-guratan yang tampak jelas menghiasi permukaan bulan.menurut dongeng, guratan-guratan itu adalah wujud seorang nenek yang sedang menenun kain. Tapi, menurutku itu tidak masuk akal.
Di bulan tidak ada kehidupan. Hampa. Bulan hanya berisi tanah tandus yang terdiri dari batu dan debu saja. adapun guratan-guratan yang membentuk wujud seorang nenek itu tak lain adalah deretan kawah-kawah raksasa yang jumlahnya banyak sekali. Kawah tersebut terbentuk akibat batu-batu angkasa menabrak bulan. Wuih . . . Mengerikan! Peristiwa tabrakan yang sudah berlangsung sejak ratusan juta tahun yang lalu.
Bulan juga memiliki gaya gravitasi sendiri,seperti bumi.meskipun tidak sebesar gaya gravitasi bumi, gravitasi bulan mampu menarik permukaan air laut. Air laut pun menjadi pasang di malam hari. Setidaknya, itulah yang aku ketahui tentang bulan. Aku membacanya di buku ensiklopedi.
Aku terus mengamati cahaya bulan. Lama sekali. Akupun kagum pada Sang Pencipta jagat raya ini. Belum puas aku mengagumi sang bulan,tiba-tiba kantuk menyergapku. Aku berusaha membuang jauh-jauh rasa kantuk itu. Aku ingin lebih lama lagi mengamati bulan. Memandangi bulan yang seolah sedang menari-nari di pucuk daun. Bulan yang menemaniku dan menjadi penghiburku malam ini. Bulan yang menjadi penghangat malam yang dingin dan sepi.
Rasanya aku menginginkan ayah ibuku seperti bulan. Mereka bukan saja memberikan segala bentuk mainan, tetapi memberikan gaya gravitasi dan cahaya kehangatan untukku,selamanya! Bulan bolehkah aku selalu bercengkrama denganmu? Sepertimu yang tampak sedang menari-nari di pucuk daun!

“vin ,ayo bangun! Hari sudah siang.” Aku tergeragap. Kulihat mama sudah duduk di sampingku. Mama tengah memegang kertas yang berisikan tulisanku itu. Mungkin mama sudah membacanya. “mama?” kataku sambil mengucek-ucek mata. Aku menggeliat.”Bulan yang kau inginkan itu kini berada di hadapanmu! Ujar Mama dengan senyum merekah. Pagi begitu cerah.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Tugas 9 Ilmu Sosial Dasar

Planning Usaha